BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem
peraian laut, selat dan pantai adalah ekosistem yang khas, karena kondisi
fisika-kimia sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas disekitar perairan.
Aktivitas tersebut selain memberikan keuntungan terhadap kehidupan manusia juga
dapat memberikan dampak yang negatif bagi ekosistem di perairan seperti
menurunnya kualitas perairan akibat masuknya bahan-bahan pencemar ke dalam
perairan tersebut. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan industri. Lingkungan dikatakan
tercemar apabila telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan
atau masuknya zat-zat atau benda - benda asing ke lingkungan yang mengakibatkan
kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu sehingga lingkungan tidak
lagi berfungsi sesuai peruntukannya (Wardana, 1995).
Kandungan logam
berat dalam perairan dapat meningkat, terutama dengan meningkatnya aktivitas
seperti transportasi, pelabuhan, indusrti minyak bumi, dan pemukiman penduduk
padat yang menghasilkan limbah logam berat diantaranya adalah logam berat Cu yang
dapat mempengaruhi kualitas perairan bagi kehidupan organisme didalamnya
(Setiadi, 2007).
Logam berat yang
masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, kemudian diserap
oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Logam berat memiliki sifat yang
mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan
sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan
dalam air. Mengendapnya logam
berat bersama dengan padatan tersuspensi akan mempengaruhi kualitas sedimen di
dasar perairan dan juga perairan sekitarnya.
Berawal dari uraian di atas, maka dipandang perlu untuk mengetahui
metode tentang analisis kandungan logam berat tembaga (Cu) yang terdapat di
suatu perairan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
karakteristik logam tembaga (Cu) ?
2.
Bagaimanakah
siklus logam tembaga (Cu) pada lingkungan perairan?
3.
Bagaimanakah
metode analisis logam berat tembaga (Cu) pada lingkungan perairan?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui karakteristik logam tembaga (Cu)
2.
Untuk
mengetahui siklus logam tembaga (Cu) pada lingkungan perairan
3.
Untuk
mengetahui metode analisis logam berat tembaga (Cu) pada lingkungan perairan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Karakteristik Logam Cu
Tembaga adalah
unsur kimia dengan simbol Cu dengan nomor atom 29, yang ditemukan sebagai bijih
tembaga yang masih bersenyawa dengan zat asam, asam belerang atau bersenyawa
dengan kedua zat tadi. Logam ini termasuk logam berat non ferro ( logam dan paduan yang tidak mengandung Fe dan C sebagai
unsur dasar) yang memiliki sifat penghantar listrik dan panas yang tinggi,
keuletan yang tinggi dan sifat tahanan korosi yang baik. Sehingga produksi
tembaga sebagian besar dipakai sebagai kawat atau bahan untuk menukar panas
dalam memanfaatkan hantaran listrik dan panasnya yang baik. Biasanya
dipergunakan dalam bentuk paduan, karena dapat dengan mudah membentuk paduan
dengan logam – logam lain diantaranya dengan logam Pb dan logam Sn (Van
Vliet,et.all.,1984). Berikut adalah sifat fisis, sifat mekanik, dan sifat panas
logam tembaga murni
2.2
Siklus logam tembaga (Cu)
Tembaga masuk kedalam tatanan
lingkungan perairan dapat berasal dari peristiwa-peristiwa alamiah dan sebagai
efek samping dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Secara alamiah, Cu
masuk kedalam badan perairan sebagai akibat dari erosi atau pengikisan batuan
mineral dan melalui persenyawaan Cu di atmosfir yang dibawa turun oleh air
hujan. Secara singkat daur tembaga di lingkungan adalah sebagai berikut :
Kandungan tembaga yang terdapat
dalam bebatuan terkikis oleh air hujan. Air hujan ini memecah kandungan tembaga
dalam bebatuan dan melarutkan ion tembaga tersebut dalam air. Air yang
mengandung tembaga terus mengalir ke sungai, ke sumber-sumber air, dan meresap
ke dalam tanah. Didalam tanah yang mengandung tembaga, unsur hara tersebut akan
diserap oleh akar tanaman dalam bentuk kation Cu2+ melalui
suatu proses aktif. Dengan adanya kandungan tembaga ini akan membantu tumbuhan
dalam pembentukan klorofil.kemudian tumbuhan yang mengandung tembaga ini
dimakan oleh consumer sehingga tembaga berpindah ke hewan. Tumbuhan dan hewan
mati, feses dan urinnya akan terurai menjadi Cu2+. Oleh bakteri,
tembaga tersebut akan diubah menjadi tembaga yang dapat diserap oleh tumbuhan.
Dan seperti ini akan terus berulang.
Aktivitas manusia seperti buangan
industri, pertambangan Cu, industri galangan kapal dan bermacam-macam aktivitas
pelabuhan lainnya merupakan salah satu jalur yang mempercepat terjadinya
peningkatan kelarutan Cu dalam badan-badan perairan. Masukan sebagai efek
samping dari aktivitas manusia ini, lebih ditentukan oleh bentuk dan tingkat
aktivitas yang dilakukan. Proses daur ulang yang terjadi dalam sistem tatanan lingkungan
perairan yang merupakan efek dari aktivitas biota perairan juga sangat
berpengaruh terhadap peningkatan Cu dalam badan perairan.
2.3 Metode Analisis Logam Berat Cu pada Lingkungan
Perairan
2.3.1 Pengambilan sampel
Metode
pengambilan sampel dilakukan dengan secara terpilih, dengan memperhatikan
kondisi serta keadaan dari daerah penelitian, arus dan kedalaman daerah
penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sampai sejauh mana
konsentrasi zat pencemar menyebar. Agar sampel dikatakan representatif
(mewakili populasi), diperlukan teknik pengambilan sampel yang tepat. Adapun
sampel di ambil setiap stasiun dibagi dalam 5 titik pengambilan sampel, yaitu
titik A, B, C, D, E. Dimana 4 titik berada pada tepi dan 1 titik berada di tengah
dan jarak antar titik 5 m. Sampel air yang diambil disimpan dalam botol
polietilen dan ditambah pengawet HNO3 pekat hingga pH sampel air berada dibawah
2.
Sampel sedimen diambil dengan
kedalaman ± 10 cm kira-kira sebanyak 100 gram. Sebelum digunakan alat dan
kantong plastik direndam dalam HNO3 10%. Sampel-sampel yang telah
diambil dimasukkan dan disimpan dalam ice
box yang diisi es dan dibawa ke laboratorium.
2.3.2 Preparasi sampel
2.3.2.1
Prekonsentrasi Sampel dengan Metode Ekstraksi Pelarut
Dipipet
200 mL sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala 250 mL yang berisi 2 mL
APDC (Ammonium pyrrolidinedithiocarbamate) 1%, atur pH 4 dan
panaskan sampai mendidih. Setelah dingin sampai suhu kamar, ditempatkan dalam
Erlenmeyer dan tambahkan 7 mL MIBK (methyl
isobuthyl ketone) kemudian digoyang
dengan shaker selama 20 menit. Larutan tersebut di masukan ke dalam corong
pisah dan biarkan selama 20 menit. Ambil lapisan organik (atas) dan tempatkan
dalam erlenmeyer. Untuk ekstraksi kembali, dipipet 5 mL HNO3 4
N dan dimasukkan ke dalam lapisan organik yang dipisahkan tadi, diaduk selama
20 menit. Lalu campuran dimasukkan ke dalam corong pisah
sampai ditemukan bidang batas (± 20 menit). Diambil lapisan bawah (lapisan
asam) dan dianalisis dengan SSA (Haraguchi dan Agati, 1995).
Hal
yang sama juga dilakukan terhadap masing-masing larutan standar dari logam yang
dianalisis. Tujuan prekonsentrasi dari sampel dengan metode ekstraksi pelarut
adalah untuk memisahkan ion logam yang ditentukan dengan senyawa pengganggu dan
mempertinggi kepekaan analisis dalam pengukuran dengan Spektrofotometer Serapan
Atom.
2.3.2.2
Preparasi sampel sedimen
Sampel basah diayak dengan ayakan
63 µm dengan bantuan air yang diambil dari tempat pengambilan sampel.
Pengayakan dilakukan terhadap sedimen basah dengan tujuan agar semua butiran sedimen
yang lolos dari ayakan mencerminkan ukuran yang sebenarnya di alam. Ukuran ≤ 63
µm dipilih karena sedimen dengan ukuran tersebut lebih banyak mengikat senyawa
- senyawa logam. Butiran sedimen yang bercampur dengan air diendapkan selama
paling sedikit satu hari. Selanjutnya cairan yang jernih didekantir dan
endapannya dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 60°C hingga kering
(berat konstan). Sedimen kering yang diperoleh digerus kemudian disimpan dalam
botol kering guna analisis lebih lanjut (Arifin dan Fadhlina ,2007).
2.3.2.3 Spesiasi Logam Cu
pada Sampel Sedimen
Metode spesiasi yang digunakan mengikuti metode ekstraksi
berkesinambungan Badri and Aston, (1983) yang telah dimodifikasi oleh Yap, et
al., 2003 Metode spesiasi ini meliputi 4 langkah ekstraksi.
- Ekstraksi tahap 1 ( penentuan fraksi EFLE)
Sebanyak
5 gram sampel serbuk sedimen ditimbang dengan teliti, ditambah 25 mL amonium
asetat (CH3COONH4) 1 M (pH 7), diaduk selama 3 jam dengan
pengaduk magnet dan disentrifugasi. Supernatan didekantir dan dimasukkan ke
dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan aquades sampai tanda batas. Logam
Cu dalam filtrat diukur dengan SSA pada panjang gelombang 324,7 nm (Cu). Pada
tahap ini akan dihasilkan fraksi EFLE (easily, freely, leachable dan exchangeable)
atau fraksi karbonat (fraksi exchangeable). Residu yang dihasilkan digunakan
untuk ekstraksi selanjutnya.
- Ekstraksi tahap 2 (penentuan fraksi tereduksi asam atau fraksi Fe-Mn oksida)
Residu
dari fraksi EFLE (easily, freely, leachable dan exchangeable) dicuci dengan 10
mL aquades kemudian ditambah 25 mL NH2OH.HCl2 0,25 M,
diatur pada pH 2 dengan menambahkan HCl dan diaduk selama 3 jam dengan pengaduk
magnet dan disentrifugasi . Supernatan dipipet dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 50 ml. Residu dibilas dengan 10 mL aquades dan disentrifugasi, Supernatan
didekantir dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml tersebut dan diencerkan
dengan aquades hingga tanda batas. Pada tahap ini dihasilkan fraksi acid
reducible (tereduksi asam). Logam Cu dalam filtrat diukur dengan SSA. Residu
yang dihasilkan digunakan untuk ekstraksi selanjutnya.
- Ekstraksi tahap 3 (penentuan fraksi oxidisable organic (dapat teroksidasi oleh organik)
Residu dari fraksi acid reducible dicuci dengan 10 mL
aquades. Selanjutnya ditambah 7,5 mL larutan H2O2 30% dan
dipanaskan dalam penangas air pada suhu 90 – 95°C. Campuran kemudian ditambah
25 mL larutan CH3COONH4 1 M, diatur agar pH 2 dengan
menambahkan HCl, kemudian diaduk selama 3 jam dengan magnet stirer dan
disentrifugasi. Supernatan didekantir dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL
dan diencerkan hingga tanda batas. Pada tahap ini dihasilkan fraksi oxidisable
organic (dapat teroksidasi oleh organik). Logam Cu dalam filtrat diukur dengan
SSA. Residu digunakan untuk ekstraksi selanjutnya.
- Ekstraksi langkah 4 (penentuan fraksi resitant)
Residu dari fraksi oxidisable organic dicuci dengan 10 mL
aquades kemudian ditambah 5 mL HCl pekat dan 15 mL HNO3 pekat (1:3). Campuran
dipanaskan pada suhu 140°C selama 45 menit kemudian daduk selama 3 jam dengan
pengaduk magnet dan disentrifugasi. Filtrat yang diperoleh ditampung dalam labu
ukur 50 mL dan diencerkan sampai tanda batas kemudian dianalisis dengan SSA.
Pada tahap ini diperoleh logam Cu yang bersifat resistant (non-bioavailable).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
yaitu
- Tembaga adalah unsur kimia dengan simbol Cu dengan nomor atom 29, logam berat non ferro ( logam dan paduan yang tidak mengandung Fe dan C sebagai unsur dasar) yang memiliki sifat penghantar listrik dan panas yang tinggi, keuletan yang tinggi dan sifat tahanan korosi yang baik.
- Siklus logam tembaga dipengaruhi oleh aktivitas alamiah dari terkikisnya bebatuan oleh air hujan hingga ion – ion logam Cu masuk ke dalam perairan maupun terakumulasi di zat hara tanah, selain itu dipengaruhi aktivitas manusia seperti buangan industri galangan kapal maupun pertambangan tembaga yang memperbesar kelarutan tembaga di perairan.
- Metode pengambilan sampel air dibagi ke dalam beberapa stasiun kemudian di tentukan 5 titik pengambilan sampel pada setiap stasiun.
- Metode pengambilan sampel sedimen pada 5 titik pada masing – masing stasiun di kedalaman ± 10 cm sebanyak 100 gram.
- Preparasi sampel air dengan prekonsentrasi sampel dengan metode ekstraksi pelarut yang berfungsi memisahkan ion logam yang ditentukan dengan senyawa pengganggu dan mempertinggi kepekaan analisis dalam pengukuran dengan Spektrofotometer Serapan Atom.
- Preparasi sampel sedimen terdiri dari 4 tahapan ekstraksi antara lain penentuan fraksi EFLE, penentuan fraksi tereduksi asam atau fraksi Fe-Mn oksida, penentuan fraksi oxidisable organic, dan penentuan fraksi resitant.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. dan Fadhlina, D., 2009, Fraksinasi Logam Berat
Pb, Cd, Cu dan Zn dalam sedimen dan Bioavailabilitasnya bagi Biota di Perairan
Teluk Jakarta, Ilmu Kelautan, 14 (1) : 27-32
Haraguchi, H., T
Agaki. 1995. Application Of Atomic Absorption Spectrometry to marine
Analysis dalam S, J, Hasweel. Analytical Spectroscopy Library, Theory, Design
and Application. Vol 5. Elsevier Amsterdam. Nederland. 1995.
Setiadi, S dan
Soeprianto, B. 2007. Dampak Industri Terhadap Ekosistem Pantai (Studi Kasus
Pencemaran Logam Berat dan Akumulasinya dalam Ekosistem Pantai Teluk Jakarta
dan Banten. Laporan Penelitian Perpustakaan UI. Jakarta.
(http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76408&lokasi=lokal).
Akses Internet 7 Mei 2016.
Wardana,
W. A., 1995, Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset, Yogyakarta.
Yap, C. K., A.
Ismail, & S. G. Tan., 2003, Concentration,
Distribution, and Geochemical Speciation of Copper In Surface Sediment of The
Strait of Malacca, Pakistan
Journal of Biological Sciences.
6 (12) :1021-1026